Senin, 10 Oktober 2011

AJI Indonesia Menentang RUU Intelijen

JAKARTA, KOMPAS.com — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia meminta DPR dan pemerintah tidak serta-merta mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Intelijen. Menurut AJI, masih banyak hal yang berpotensi membahayakan kehidupan masyarakat sipil, mengancam profesi jurnalis, dan menabrak peraturan perundangan lain.
Ketua Umum AJI Indonesia Nezar Patria menyatakan terkejut dengan rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Intelijen (RUU Intelijen) pada 11 Oktober 2011 dalam Rapat Paripurna DPR.
Nezar mengakui bahwa Komisi I DPR telah mengeluarkan draf RUU Intelijen terbaru dan mengubah sejumlah materi krusial, seperti wewenang penangkapan atau penahanan, wewenang penyadapan, serta sanksi pidana bagi pembocor rahasia intelijen. Namun, semua itu belum cukup, mengingat masih ada pasal-pasal lain yang apabila diterapkan dapat membahayakan kehidupan demokrasi dan kebebasan pers.
"Sebagai contoh aturan yang bermasalah, misalnya Pasal 32 tentang penyadapan. Kewenangan penyadapan kepada aparat intelijen seharusnya diterapkan dalam situasi khusus dengan payung hukum yang jelas, seperti situasi darurat sipil, darurat militer, atau darurat perang yang pemberlakuannya melalui payung hukum dan pertanggungjawaban negara yang jelas," tutur Nezar, Senin (10/10/2011) di Jakarta.
AJI berpendapat pembatasan atau restriksi terhadap kebebasan melalui "penyadapan" perlu dijabarkan lebih detil dan tidak bisa diterima dalam kondisi negara tertib sipil atau dalam kondisi negara yang aman dan damai.
Terkait isu pers, dalam Pasal 26 RUU Intelijen disebutkan, "Setiap orang atau badan hukum dilarang membuka dan/atau membocorkan rahasia intelijen". Artinya, siapa pun yang terbukti membuka atau membocorkan rahasia intelijen dapat dikenai sanksi pidana. Sanksi pidana untuk pembocor intelijen diatur dalam Pasal 44 dan 45 RUU Intelijen, yakni 10 tahun penjara dan 7 tahun penjara dan atau denda ratusan juta rupiah.
Selain itu, AJI menilai Pasal 26 RUU Intelijen cenderung subyektif, terlalu luas, dan cenderung bertabrakan dengan makna lain. Beberapa definisi "rahasia intelijen" sebagaimana dirincikan dalam Pasal 25 bertabrakan dengan definisi "informasi negara". AJI menilai Pasal 26 RUU Intelijen rawan disalahgunakan aparatur negara, terutama untuk melindungi kekuasaannya. Pasal ini terutama bisa dikenakan kepada jurnalis atau pegiat pers yang memublikasikan informasi atau melakukan tugas jurnalisme investigasi dan menyebarkan laporannya kepada publik.
Rumusan pasal tersebut, menurut AJI, berpotensi mengancam kebebasan pers. UU Pers telah mengatur tugas dan fungsi pers, khususnya Pasal 4, yang berbunyi "Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran". "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi". "Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak".
"Harus diingat, tugas jurnalis itu dilindungi dua undang-undang sekaligus, yakni UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik," ungkapnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More